Di Muara Baru, Jakarta Kota, Craig Owensby tergugah hatinya menyaksikan kaum dhuafa yang taat beribadah. Di sanalah hidayah Tuhan menyelimuti batinnya. Padahal dulu, Ia memandang Islam agama yang jelek, namun setelah mengagumi keajaiban Quran, pria bule ini betul-betul tertarik pada Islam, menikah dengan Lilis Fitriyah, dan dikaruniai anak, Sarah Zata Amani Owensby.

Nama saya Craig Owensby, lahir di Chicago, 1961. Ayah saya seorang pendeta Kristen Protestan. Pada usia 4 tahun, kami tinggal di Meksiko. Kemudian saya harus mengikuti ayah yang misionaris itu menuju Bogota, di Colombia selama tiga setengah tahun. Setelah remaja, saya melanjutkan studi di Madison AS, kemudian New York City, sampai "terdamparnya" ke Jakarta untuk bekerja. Sebelum memeluk agama Islam, saya adalah anggota tim sepakbola di kampus (Universitas Wiscousin, AS) ketika saya masih berusia 20 tahun. Kebetulan sebagian besar rekan-rekan tim berasal dari TimurTengah. Mereka semua Muslim, tapi Muslim "jelek". Mereka suka menenggak minuman beralkohol. Tapi seorang kawan saya dari Pakistan, namanya Mohammad Natsir, berbeda dari yang lain, Ia betul-betul Muslim yang bagus.

Saya pernan bertanya pada Natsir, "Kenapa orang Muslim suka minum-minuman keras, main wanita?" Jawabnya, "Memang ada banyak Muslim yang jelek. Tapi Islam tidak mengajarkan itu. Kalau anda mau belajar Islam, sesungguhnya Islam itu agama yang indah." Jawaban itu membuat saya berpikir dan mencoba meyakinkan diri. Bagaimana agama bisa menjadi kebenaran? Bagaimana agama bisa menolongku agar hidup yang benar.

Tertarik pada Al Quran

Begitu lulus kuliah dengan menyandang gelar Master of Business Administration (MBA), saya terbang ke New York City untuk bekerja, sambil sekolah lagi di Princeton Theological Seminary, untuk menjadi seorang pendeta. Di sekolah ini ada mata studi llmu Perbandingan Agama (Islam-Kristen). Dalam studi ini; mau tak mau, saya harus membaca semua isi kandungan Al Quran.

Ketika membaca Al Quran, saya mengaku tertarik dengan isi dan ajarannya. Seperti diketahui, di Kristen, banyak filosoti tentang konsep ketuhanan. Ternyata begitu juga di Islam, bahkan ada konsep yang pasti tentang Allah, sehingga orang memahami siapa Allah. Ada pula konsep tentang kesaksian (credo) yaitu kalimat syahadat: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah'. Nah, untuk mencapai pemahaman tentang Allah, kita harus menggunakan akal dan filosofi. Jadi tidak semata-mata konsep teologi. Hal ini tentu sangat menarik bagi orang Kristen tentang Islam.

Selama dua tahun saya bekerja di sebuah gereja di AS, berhasil merekrut banyak jamaah untuk mengikuti ibadah di gereja. Bermula dari 3000 orang meningkat sampai 6000 orang. Sudah keharusan, setiap anggota gereja memberi 10% dari gajinya untuk gereja. Alhasil uang yang terkumpul mencapai enam juta dolar pertahun (sekitar 60 milyar). Ini potensi yang sangat luar biasa.

Sejalan dengan pengabdian saya di gereja, saya terus berpikir ihwal konsep "Isa adalah Tuhan". Padahal ketika saya belajar teologi Islam, konsep itu sangat jauh berbeda, Demikian juga konsep tentang dosa, Islam juga sangat berbeda dengan Kristen. Saya berpikir dan merasa, ada sesuatu yang mengganjal. Banyak hal yang sebetulnya tidak dikatakan Injll tentang konsep itu semua. Konsep itu muncul ketika Paulus mengubah perihal konsep Ketuhanan yang paling mendasar. Padahal Paulus baru datang 15 tahun kemudian setelah Islam.

Ke Indonesia

Kegelisahan ini membuat saya membatalkan diri jadi pendeta, yakni sebelum saya menyelesaikan sekolah teologia di Princeton. Keluar dari gereja, 0ya terbang ke Jakarta setelah mendapat tawaran bekerja di Indonesia. Setahun bekerja di Muara Baru, Kota, Jakarta, saya berinteraksi dengan masyarakat Muslim miskin, tapi taat beragama.

Ketika itu saya sudah tidak Kristen. Tapi saya percaya adanya Tuhan. Saya hanya tidak tahu bagaimana harus belajar dan mengenal Tuhan. Jika saya menjadi orang yang Tuhan mau, saya akan tolong orang-orang itu (orang miskin yang ada di Muara Baru, red.). Saya akan sekolahkan dan kasih makan mereka.

Saya menilai, biarpun mereka miskin, mereka punya komunitas. Masjidlah yang menjadi tempat komunitas mereka. Mereka tidak sendiri, mereka bukan hanya punya kawan, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, saya kembali ke Amerika Serikat. Di sana saya mendirikan perusahaan sendiri, lalu terbang ke Hongkong pada tahun 1999. Tahun berikutnya, saya datang Iagi ke Indonesia. Sesampai di Jakarta, saya langsung mencari anak-anak miskin di Muara Baru itu. Di wilayah itu, saya buatkan rumah untuk mereka dan menyekolahkan mereka. Ada 10 anak asuh yang saya bina. Usia mereka rata-rata 15 tahun.

Suatu ketika, di pagi buta, saya mendengar krasak-krusuk di rumah sederhana yang saya bangun. Saya pikir itu suara tikus yang mencicit, tapi ketika saya membuka pintu untuk rasa ingin tahu saya, rupanya tujuh anak sedang melakukan shalat Subuh berjamaan. Ketika itu saya berpikir, di saat orang masih tertidur pulas, anak-anak itu bangun untuk mengerjakan shalat Subuh. "Islam ternyata memang agama yang indah," bisik hatiku.

Masuk Islam

Ini luar biasa. Apa yang saya lihat dan rasakan membuat diriku bertekad untuk memeluk agama Islam. Saya ingin hidup yang benar seperti yang Tuhan mau. Saya ingin masuk ke dalam komunitas Islam.

Meski sudah resmi memeluk Islam, saya belum tahu bagaimana sikap seorang Muslim selanjutnya. Ketika itu saya mulai membuka-buka kembali Al Quran, bacaan yang pernah saya pelajari sebelumnya saat melakukan studi banding tentang konsep Tuhan. Selain saya membaca buku tentang Nabi Muhammad dan hadis Rasulullah, saya juga ikut pengajian khusus Muslim bule, yaitu pengajian para suami asing yang punya istri asli Indonesia.

Di pengajian Muslim bule ini, saya bertemu dengan Rahman, pimpinan Yayasan Rahmaniah. Dengannya, saya bertukar pikiran. Saya ingat kata-kata Ustaz Rahman, "Anda tidak akan mengerti Islam, bila anda tidak melakukan ajaran Islam yang sebenarnya. Just do it."

Sejak percakapan itu, saya mulai melaksanakan shalat lima waktu, meski harus dibantu dengan membaca buku petunjuk shalat. Tapi kini, saya bisa merasakan nikmatnya shalat. Tahun 1999 saya memang sudah Muslim, tapi baru serius menjadi seorang Muslim pada Juni 2001. Waktu itulah saya baru melakukan shalat.

Hal yang paling indah yang saya rasakan adalah ketika saya mengerjakan shaiat Subuh untuk pertama kalinya. Memang tidak rnudah untuk menjalaninya. Karena sebelumnya saya terbiasa bangun pukul 7 pagi. Tapi kini, saya telah membiasakan diri untuk tidur lebih awal dan bangun pukul 4.30 untuk menunaikan shalat Subuh. Bukan hanya shalat, puasa di bulan Ramadhan pun saya mampu menjalaninya.

Al Quran Seluler

Dalam keasyikan saya mempelajari Al Quran, lantas muncul ide untuk membuat Al Quran Seluler pada tahun 2001. Seperti diketahui, Al Quran Seluler adalah upaya untuk membangun Gerakan Qurani via telepon atau handphone berupa pesan harian. Untuk mendapatkan SMS Hadis Harian via HR anggota akan diingatkan tentang hadis shahih dan jadual shalat harian. Untuk Kajian Harian Quran via telepon dengan biaya lokal, maka akan terdengar 1 menit terjemah Al Quran, 2,5 menit pesan dari penceramah, dan 1,5 menit tilawah Murotal, juga dapat mendengar pesan dari salah seorang penceramah yang dipilih. Anggap saja Al Quran Seluler adalah pemandu umat Islam untuk mengarungi Al Quran dan Hadis secara praktis yang dapat diakses setiap hari.

Sebagai muallaf, saya menyesalkan tentang perilaku umat Islam yang enggan membaca dan memahami kitab sucinya sendiri. Banyak Muslim tidak mengerti Islam, bahkan tidak mempraktekkan dirinya sebagai Muslim. Mereka tidak membaca Al Quran. Mereka seperti tidak tahu suara Allah. Padahal, Al Quran itu bukan bacaan para ustaz atau kiyai saja, tapi bacaan untuk umat Islam seluruh dunia, apa pun profesinya.

Anehnya lagi, kalaupun mereka sudah membaca Al Quran, mereka tidak memahami atau mengerti maksudnya. Jadi, bisa bahasa Arab saja tidak cukup, harus ada tahapan membaca, mengerti, berpikir, hingga masuk ke dalam hati, setelah itu diamalkan. Sebab itu, dalam beragama kita harus mempunyai fondasi intelektual dan keilmuan tentang Islam.

Ada banyak cara untuk menyampaikan informasi tentang Islam. Di antaranya dengan sarana media dan teknologi intormasi. Dengan teknologi, umat Islam diharapkan menerima pesan dengan cepat dan efektif tentang Islam. Dari beberapa media yang ada, saya menilai media televisi sangat efektif. Lalu, pertimbangan kami adalah mencari ustaz yang punya program televisi, sekaiigus tokoh muda yang sedang fenomenal di masyarakat. Dari program TV, saya kembangkan lewat telepon biasa maupun telepon genggam. Jadi tujuannya, saya mau orang mengerti tentang Islam dengan mudah. Saya juga ingin orang tidak takut belajar Islam. Juga tidak mau membuat imej Islam itu keras dan menakutkan. Makanya saya perlu mencari tokoh spiritual yang komunikatif sekaligus figur fenomenal yang bisa diterima di hati umat.

Saya pernah ditanya, bagaimana bila suatu saat kefe-nomenaan ustaz di Al Quran Seluler menurun atau akan ada generasi baru dalam dakwah. Jawab saya, tentu akan kita pertimbangkan, dan kita akan tunggu perkembangannya. Yang jelas Al Quran Seluler tidak akan menyampaikan pesan politik praktis. Ustaz Arifin llham memang simpatisan PKS. Beliau punya tanggung jawab poiitik. Saya suka zikir Ustaz Arifin, tapi saya belum tentu setuju dengan politik Arifin.


Dekat dengan Ustaz Kondang

Saya tidak hanya dekat dengan Ustaz Arifin llham, tapi juga dengan para ustaz dan tokoh Islam, seperti KH. Abdullah Gymnastiar, KH. Didin Hafiduddin, dan Ustaz Ihsan Tanjung. Saya pernah pergi haji bareng A'a Gym. Waktu itu nama A'a tidak sebesar sekarang. Ketika itu KH. Zainuddin MZ sedang populer. Tapi perkembangan berikutnya, Zaninuddin MZ mulai terjun ke politik. Sebab itu, Zainuddin tidak bisa jadi ustaz di Al Quran Seluler. Lantas saya bertemu Ustaz Arifin llham, Didin Hafiduddin, Ustaz Ihsan Tandjung.

Saya banyak belajar dengan mereka. Bagi saya, mereka adalah teman sekaligus guru-guru saya. A'a Gym misalnya, setelah saya banyak bicara dengan beliau, ternyata A'a adalah orang yang punya banyak visi. Beliau jujur, sayang umat dan sayang Allah.

Ketika anggota peminat Al Quran Seluler berkembang, saya ditanya: apakah saya lantas memandangnya sebagai kepentingan dakwah atau bisnis? Jawab saya, dua-duanya. Karena untuk membuat dakwah yang efektif tidak bisa tanpa manajemen yang bagus. Yang jelas, awalnya saya mengeluarkan modal sendiri untuk memberi layanan gratis, Karena waktu itu Telkom dan Satelindo belum siap. Saya yakin dengan apa yang Al Quran bilang: bila ingin rezeki besar, kita harus memberi banyak untuk Allah. Resikonya hanya untuk Allah. Jadi saya lakukan ini, apa yang Dia mau,

Tapi sebenarnya saya tidak berpikir uang, karena fokus saya dakwah. Saya berpikir, kalau orientasinya bisnis semata, mungkin dakwah tidak akan berhasil. Jika rtu terjadi, saya bisa kaya, namun belum tentu mendapat ridha Allah. Tapi jika fokus saya dakwah, saya bisa dapat kedua-duanya, rezeki Allah dan ridha Allah. A'a Gym saja, selain berdakwah juga berbisnis. Beliau punya relasi yang bagus. Karena itu saya melakukan rekan bisnis dengan MQ Net.

Intinya amat sederhana, Saya hanya ingin umat Islam membaca Al Quran setiap hari. Dengan membaca Al Quran dan memahami isinya, pada hakekatnya kita sedang berkomunikasi langsung dengan Allah.
 
Top