Jilbab akhirnya menjadi bagian dari Istana Cankaya di Istanbul. Adalah Hayrunnisa Gul yang mengenakannya. Istri Abdullah Gul, mantan menteri luar negeri yang Selasa (28/8) dilantik menjadi presiden ke-11 Turki, menjadi Ibu Negara Turki pertama yang berjilbab.

''Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,'' tegas Hayrunnisa (42), yang menikah dengan Gul pada usia 15 tahun. Perempuan yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini menegaskan jilbab adalah pilihan pribadinya yang harus dihormati. Jilbab dan kepatuhannya pada ajaran Islam, tegas ibu tiga anak ini, tidak menghalanginya untuk menjadi modern. Jilbab Hayrunnisa memang sempat menjadi komoditas politik hangat di Turki. Jilbabnya menjadi sasaran tembak yang empuk bagi kubu sekuler, musuh politik suaminya, untuk menjegal pencalonan suaminya menjadi presiden oleh partai berkuasa AKP yang berbasis Islam.

Oposisi dan militer, yang merupakan pendukung sekularisme, menilai jilbab sebagai simbol Islam tak patut menghiasi Istana Cankaya yang dianggap sebagai simbol dan benteng sekularisme Turki. Ini, kata mereka, akan merusak nilai sekularisme yang diperkenalkan oleh pendiri Turki, Mustafa Kemal Attaturk.

Dalam beberapa kesempatan, Hayrunnisa mengatakan ia hanya menemukan masalah dengan jilbab yang dikenakan justru ketika berada di negaranya sendiri yang 90 persen penduduknya Muslim. Selama mendampingi Gul mengunjungi negara sahabat, katanya, ia sama sekali tidak menemukan masalah dengan jilbabnya.

Pada 2002, Hayrunnisa menjadi sorotan publik ketika ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi HAM Uni Eropa (ECHR) setelah Universitas Ankara menolak pendaftaran dirinya semata-mata karena berjilbab. Ia kemudian menarik gugatannya setelah AKP memenangi pemilu.

Belajar dari pengalaman ibunya, Kubra, satu-satunya anak perempuan pasangan Gul- Hayrunnisa, menutupi jilbabnya dengan wig agar dapat masuk ke universitas tersebut.

Bagi kubu sekuler, yang diwakili oleh militer dan Partai Rakyat Republik (CHP), semua argumentasi Hayrunnisa tidak berarti. Bagi mereka, jilbabnya tetap mencerminkan satu langkah mundur bagi gerakan emansipasi perempuan yang dikenalkan Kemal Attaturk.

Pembelaan datang dari penganut paham liberal. Mereka mengecam pedas militer dan oposisi yang menjadikan jilbab dan latar belakang Islam pasangan ini sebagai senjata politik. Mereka mengatakan dua hal ini digembar-gemborkan oposisi karena tidak mampu menandingi pencapaian AKP.

Dukungan bagi ibu negara juga datang dari jajak pendapat yang dilakukan lembaga terkemuka, Konda. Hasil jajak pendapat yang dirilis harian Miliyet, Selasa (28/8), menunjukkan 72,6 persen responden menilai biasa jika ibu negara mengenakan jilbab. Hanya 19,8 persen responden yang mengatakan terganggu karena ibu negara Turki berjilbab, dan 7,6 persen menyatakan tidak mempunyai sikap.

Survey yang digelar pada 18-19 Agustus dengan 2.734 responden itu juga menunjukkan hanya 12,6 persen responden yang berpendapat presiden Turki harus sepenuhnya mengabdi pada prinsip sekuler. Sementara, hampir 53 persen responden mengatakan sikap tidak berpihak mutlak harus dimiliki presiden. Diikuti 28,4 persen responden yang mengatakan presiden harus loyal kepada nilai-nilai Republik, di dalamnya termasuk sekuler. (RioL)
 
Top